Pada pertengahan abad ke-XV tepatnya tahun 1404 M berdirilah desa yang berlokasi dipinggir sungai Cikeruh bernama Desa Leuwitingting dibawah Kesultanan Cirebon. Desa Leuwitingting sebelah timur berbatasan dengan Plered, sebelah utara dengan Cadang Pinggan, sebelah barat dengan Pajagan, dan sebelah selatan dengan Patuanan. Desa ini dikepalai oleh Raden H. Jafar Sidiq yang memerintah mulai tahun 1404 sampai tahun 1440 (36 tahun). Untuk menjalankan pemerintahannya beliau mengangkat seorang lebe yang merupakan pamannya sendiri yang bernama Maryam dan juga mengangkat beberapa lurah.
Pada saat itu penduduk desa Leuwitingting menganut berbagai macam agama seperti islam, budha, hindu bahkan animisme. Di sinilah peran kuwu Raden H.Jafar Sidiq untuk syiar agama islam. Guna mempermudah penyebaran agama islam, beliau membuat bedug yang terbuat dari pohon sidagori yang suaranya itu menggema dan menarik perhatian rakyat Cirebon. Akhirnya terdengar pula oleh Gusti Sinuhun yang kemudian mengutus syeh bentong untuk meminta bedug tersebut. Permintaan tersebut dikabulkan oleh kuwu Leuwitingting dan bedug tersebut langsung di bawa ke keraton Kasepuhan Cirebon yang hingga kini masih ada dan diberi nama bedug Sidagori oleh Gusti Sinuhun.
Sekitar tahun 1440 terjadilah musibah hama (semacam wereng, tikus, sundep, dll) yang sangat ganas dan merusak tanaman baik padi maupun palawija. Hal ini didengar oleh Gusti Sinuhun Cirebon sehingga beliaupun segera datang untuk memberi bantuan dengan membawa obat-obatan (ukup, menyan, dll) untuk memberantas hama yang merajalela yang diangkut dengan sebuah kendaraan tradisional bernama pedati. Ditengah perjalanan antara kampung kedondong (sekarang Sukawera) dengan desa Leuwitingting, pedati tersebut masuk parit yang cukup dalam dan selip sehingga perjalanan beliau terhambat.
Gusti Sinuhun pun minta bantuan kepada kuwu Leuwitingting un¬tuk mengangkat pedati yang selip itu, namun kebetulan datanglah lurah Kedondong yang bernama Kimertabumi yang akhirnya menawarkan diri untuk membantu mengangkat pedati yang selip dan Gusti Sinuhun pun mengizinkan.
Setelah pedati terangkat datanglah kuwu Leuwitingting, kemudian Gusti Sinuhun menyerahkan obat-obatan untuk menangkal hama sekaligus memberi gelar kepada kuwu Leuwitingting (Raden H. Jafar Shidiq) atas jasa-jasanya dengan se¬butan pangeran Nalabaya. Yang artinya abdi negara juga da¬pat diartikan Nala itu berani dan Baya itu pakewuh, sehing Nalabaya berati siap menghadapi segala macam tantangan.
Gusti Sinuhun juga, menyerahkan panji Macan Ali (lambang bendera Cirebon) kepada kuwu Leuwitingting serta memberi gelar Jiwantaka kepada lurah Kedondong Kimertabumi, yang artinya orang yang berjiwa besar dan patuh kepada pimpinan.
Selanjutnya Gusti Sinuhun memerintahkan kepada kuwu Leuwitingting agar desanya dipindahkan ke Alas Gandok agar ti¬dak terkena musibah lagi. Akhirnya, kuwu Pangeran Nalabaya, lebe Maryam dan para lurah serta masyarakat segera pindah ke Alas Gandok. Lalu dibangunlah balai desa, masjid dihulu dayeuh, padepokan Karapyak dan membuat sumur. Namun pada saat membuat sumur tiba-tiba menemukan lempengan-lempengan Beusi, maka sumur tersebut dinamakan sumur Beusi yang sam¬pai sekarang masih ada dan dikeramatkan. Sehingga pangeran Nalabaya, lebe Maryam, para lurah dan tokoh agama, serta, tokoh masyarakat sepakat untuk mengganti nama desa Leuwitingting menjadi desa Beusi.
Setelah selesai membangun desa yang baru pangeran Nalabaya (kuwu Beusi) memanggil pamannya lebe Maryam. Beliau berkata,
“sehubungan ada wangsit bahwa saya harus menghadap Gusti Sinuhun, maka pemerintahan desa saya titipkan kepada paman untuk dilaksanakan sebaik-baiknya. Sebagai tanda kepercayaan untuk menjalankan tugas sebagai kuwu, saya berikan sumbul buk beserta isinya”. Disitulah terjadi yang dinamakan bewu singkatan dari lebe dan kuwu. Sejak itu pula kuwu pangeran Nalabaya tidak pernah kembaii lagi. Setelah menjabat selama 8 tahun bewu Maryam wafat dan di makamkan di padepokan Karapyak.
Pada tahun 1585 sampai tahun 1609 (24 tahun) terjadilah peperangan melawan penjajah Belanda yang disebut babad Bantarjati pada saat dijabat oleh kuwu Abas / Seyong dan kuwu Sanidin.
Pada tahun 1754 ketika dijabat oleh kuwu Santan desa Beusi pindah dari hulu dayeuh ke blok Kelenting dekat kampung Pilang.
Pada tahun 1942 datanglah penjajah Dainipon / Jepang ketika dijabat oleh kuwu Parta Disastra. Desa Beusi pun dipindahkan secara paksa ke sebelah selatan Dukuh Huma dekat Telektek I (kampung Pesantren) dan Telektek II (kampung Entuk).
Pada tahun 1982 ketika kuwunya bernama Sutia Andon, desa Beusi dimekarkan karena penduduknya sudah sangat padat yaitu menjadi dua desa, desa Beusi (induk) dan desa Gandawesi (pamekaran).
Pemerintahan desa Beusi sampai sekarang sudah di jabat oleh 56 kuwu.
sumber : Arsip & dokumentasi Desa Beusi
Pada saat itu penduduk desa Leuwitingting menganut berbagai macam agama seperti islam, budha, hindu bahkan animisme. Di sinilah peran kuwu Raden H.Jafar Sidiq untuk syiar agama islam. Guna mempermudah penyebaran agama islam, beliau membuat bedug yang terbuat dari pohon sidagori yang suaranya itu menggema dan menarik perhatian rakyat Cirebon. Akhirnya terdengar pula oleh Gusti Sinuhun yang kemudian mengutus syeh bentong untuk meminta bedug tersebut. Permintaan tersebut dikabulkan oleh kuwu Leuwitingting dan bedug tersebut langsung di bawa ke keraton Kasepuhan Cirebon yang hingga kini masih ada dan diberi nama bedug Sidagori oleh Gusti Sinuhun.
Sekitar tahun 1440 terjadilah musibah hama (semacam wereng, tikus, sundep, dll) yang sangat ganas dan merusak tanaman baik padi maupun palawija. Hal ini didengar oleh Gusti Sinuhun Cirebon sehingga beliaupun segera datang untuk memberi bantuan dengan membawa obat-obatan (ukup, menyan, dll) untuk memberantas hama yang merajalela yang diangkut dengan sebuah kendaraan tradisional bernama pedati. Ditengah perjalanan antara kampung kedondong (sekarang Sukawera) dengan desa Leuwitingting, pedati tersebut masuk parit yang cukup dalam dan selip sehingga perjalanan beliau terhambat.
Gusti Sinuhun pun minta bantuan kepada kuwu Leuwitingting un¬tuk mengangkat pedati yang selip itu, namun kebetulan datanglah lurah Kedondong yang bernama Kimertabumi yang akhirnya menawarkan diri untuk membantu mengangkat pedati yang selip dan Gusti Sinuhun pun mengizinkan.
Setelah pedati terangkat datanglah kuwu Leuwitingting, kemudian Gusti Sinuhun menyerahkan obat-obatan untuk menangkal hama sekaligus memberi gelar kepada kuwu Leuwitingting (Raden H. Jafar Shidiq) atas jasa-jasanya dengan se¬butan pangeran Nalabaya. Yang artinya abdi negara juga da¬pat diartikan Nala itu berani dan Baya itu pakewuh, sehing Nalabaya berati siap menghadapi segala macam tantangan.
Gusti Sinuhun juga, menyerahkan panji Macan Ali (lambang bendera Cirebon) kepada kuwu Leuwitingting serta memberi gelar Jiwantaka kepada lurah Kedondong Kimertabumi, yang artinya orang yang berjiwa besar dan patuh kepada pimpinan.
Selanjutnya Gusti Sinuhun memerintahkan kepada kuwu Leuwitingting agar desanya dipindahkan ke Alas Gandok agar ti¬dak terkena musibah lagi. Akhirnya, kuwu Pangeran Nalabaya, lebe Maryam dan para lurah serta masyarakat segera pindah ke Alas Gandok. Lalu dibangunlah balai desa, masjid dihulu dayeuh, padepokan Karapyak dan membuat sumur. Namun pada saat membuat sumur tiba-tiba menemukan lempengan-lempengan Beusi, maka sumur tersebut dinamakan sumur Beusi yang sam¬pai sekarang masih ada dan dikeramatkan. Sehingga pangeran Nalabaya, lebe Maryam, para lurah dan tokoh agama, serta, tokoh masyarakat sepakat untuk mengganti nama desa Leuwitingting menjadi desa Beusi.
Setelah selesai membangun desa yang baru pangeran Nalabaya (kuwu Beusi) memanggil pamannya lebe Maryam. Beliau berkata,
“sehubungan ada wangsit bahwa saya harus menghadap Gusti Sinuhun, maka pemerintahan desa saya titipkan kepada paman untuk dilaksanakan sebaik-baiknya. Sebagai tanda kepercayaan untuk menjalankan tugas sebagai kuwu, saya berikan sumbul buk beserta isinya”. Disitulah terjadi yang dinamakan bewu singkatan dari lebe dan kuwu. Sejak itu pula kuwu pangeran Nalabaya tidak pernah kembaii lagi. Setelah menjabat selama 8 tahun bewu Maryam wafat dan di makamkan di padepokan Karapyak.
Pada tahun 1585 sampai tahun 1609 (24 tahun) terjadilah peperangan melawan penjajah Belanda yang disebut babad Bantarjati pada saat dijabat oleh kuwu Abas / Seyong dan kuwu Sanidin.
Pada tahun 1754 ketika dijabat oleh kuwu Santan desa Beusi pindah dari hulu dayeuh ke blok Kelenting dekat kampung Pilang.
Pada tahun 1942 datanglah penjajah Dainipon / Jepang ketika dijabat oleh kuwu Parta Disastra. Desa Beusi pun dipindahkan secara paksa ke sebelah selatan Dukuh Huma dekat Telektek I (kampung Pesantren) dan Telektek II (kampung Entuk).
Pada tahun 1982 ketika kuwunya bernama Sutia Andon, desa Beusi dimekarkan karena penduduknya sudah sangat padat yaitu menjadi dua desa, desa Beusi (induk) dan desa Gandawesi (pamekaran).
Pemerintahan desa Beusi sampai sekarang sudah di jabat oleh 56 kuwu.
sumber : Arsip & dokumentasi Desa Beusi
0 comments:
Posting Komentar