KUDA di daerah Sumedang pada awalnya merupakan alat transportasi yang biasa digunakan kalangan menak untuk memeriksa daerahnya. Adalah Pangeran Aria Suriaatmaja, Bupati Sumedang (1882-1919) banyak mendatangkan kuda dari Sumbawa dan Sumba untuk meningkatkan mutu ternak kuda di daerahnya.
Dijuluki Pangeran Mekah karena meninggal di Mekah tanggal 21 April 1921, Pangeran Aria Suriaatmaja menurut sejarawan dan Ketua Masyarakat Sejarah Indonesia (MSI) Jawa Barat, Dr Hj Nina H Lubis MS dalam Tradisi dan Transformasi Sejarah Sunda merupakan tokoh yang banyak memberikan sumbangan kemajuan di berbagai bidang untuk menyejahterakan masyarakat dan daerahnya.
Di bidang peternakan, ia menganjurkan agar para menak di daerahnya memelihara kuda. Saat itu kuda merupakan alat transportasi penting para menak Sumedang untuk meninjau daerahnya. Sehingga berkat anjuran tersebut, jumlah kuda di Sumedang mencapai ratusan ekor.
Kuda-kuda tersebut biasanya dititipkan ke penduduk setempat untuk dipelihara. Salah seorang pemelihara kuda tersebut adalah Sipan, penduduk Desa Cikurubuk, Kecamatan Buahdua, sekitar 20 km dari Sumedang. Sipan yang oleh penduduk setempat dijuluki Ki Sipan, sejak kecil sudah menyenangi kuda. Ia merasa senang jika diperintahkan ayahnya yang bernama Bidin untuk memandikan kuda.
Sambil memandikan, Sipan mencoba mengamati anatomi tubuh kuda. Perhatiannya yang sedemikian besar walaupun tidak didukung pengetahuan secara ilmiah, ternyata telah membuatnya bisa mengetahui gerakan-gerakan apa saja yang bisa dilakukan oleh kuda peliharaannya.
Dalam pengetahuannya yang sederhana, ia membagi lima gerakan yang bisa dilakukan oleh kuda. Pertama adean yang memperlihatkan gerakan menyamping. Yang kedua gerakan torolong yang memperlihatkan gerakan langkah pendek namun dilakukan dengan cepat.
Gerakan yang ketiga adalah derap atau jorog yang merupakan langkah biasa, namun dilakukan dengan cepat. Sedangkan gerakan keempat disebut congklang, merupakan gerakan lari dengan cepat yang dilakukan dengan kedua kaki depan melangkah secara bersamaan. Gerakan ini bisa dilihat seperti pada pacuan. Gerakan kelima adalah anjing minggat yang memperlihatkan gerakan kaki kuda pada saat setengah lari.
***
KI Sipan yang tahun ini memperoleh piagam penghargaan dari Pemda Kabupaten Sumedang mulai merintis melatih kuda peliharaannya pada tahun 1910. “Waktu itu umurnya sudah 40 tahun,” kata salah seorang cucunya.Mula-mula Sipan mencoba mengiringi kuda yang akan dimandikan dengan iringan tetabuhan yang berasal dari waditra (instrumen musik) bambu angklung dan musik perkusi berupa dogdog yang didatangkan dari daerah Situraja. Ternyata, kuda peliharaannya dapat menangkap irama musik tersebut sehingga ia menggerak-gerakkan kakinya.
Berita itu rupanya segera didengar Pangeran Aria Suriaatmaja dan kemudian memberikan dukungannya. Menurut Disbudpar Kabupaten Sumedang, dua ekor kuda yang pertama kali ditangani untuk dilatih menari oleh Ki Sipan masing-masing Si Cengek dan Si Dengek. Kedua ekor kuda tersebut, untuk pertama kali memperlihatkan keterampilannya secara mengagumkan di depan publik penonton yang menghadiri acara khitanan keluarga Pangeran Aria Suriaatmaja.
Ki Sipan meninggal tahun 1939 dalam usia 68 tahun. Kemampuan melatih kuda kemudian diwariskan kepada anaknya, Ki Sukria.
***
KUDA renggong pada awalnya disebut “kuda igel” karena bisa Ngigel atau menari. Dalam perjalanannya, kesenian tersebut mengalami berbagai modifikasi yang bertujuan menambah daya tariknya terutama dalam penggunaan properti.Properti yang dikenakan kuda antara lain sela atau pelana, sangawedi (alat untuk naik ke punggung kuda), apis buntut yang merupakan tali penghubung antara sela dengan pangkal ekor kuda. Pada bagian kepalanya ditutupi dengan pengikat kepala yang disebut karembong. Untuk mengendalikan gerakan-gerakan kuda digunakan eles.
Eles dipegang oleh penuntun kuda. Pakaiannya yang berwarna hitam-hitam, terdiri dari baju salonteng atau yang lebih populer dengan sebutan baju kampret dan menggunakan celana pangsi. Kepalanya diikat totopong sebagai ikat kepala.
Arak-arakan kuda renggong yang membawa pengantin sunat biasanya diiringi tetabuhan tanji dan penyanyi yang disebut sinden. Peralatan sound system-nya digotong dengan menggunakan roda.
Oleh karena dihubungkan dengan pengeras suara, irama tetabuhan dan suara pesinden terdengar nyaring sampai jauh ke pelosok kampung karena dihubungkan dengan pengeras suara. Kadang-kadang terdengar memekakkan telinga, atau sebaliknya malah terdengar pales karena aki yang digunakan sebagai sumber tenaga listriknya sudah mulai lemah.
Walau demikian, masyarakat yang haus hiburan tidak pernah peduli. Sepanjang jalan yang dilalui, para penggemarnya asyik berjoget-ria disaksikan penduduk setempat yang berdiri berjejer di kiri kanan jalan. Arak-arakan tersebut biasanya berlangsung pada siang atau menjelang senja. (Her Suganda - Kompas Sabtu, 5 Oktober 2002)
0 comments:
Posting Komentar