Hari yang cukup cerah. Dan memang terlalu cerah untuk aku lukiskan dengan kata-kata, bahkan awan pun enggan untuk merapatkan dirinya terlalu dekat dengan mentari. Sehingga mentari pun bebas menebarkan “senyumannya” di sepanjang jalan Dewi Sartika. Ya, “senyuman” yang membuat aku bermandikan keringat. Panas.
Seandainya Alloh tidak mengingatkan bahwa pada hari itu aku sedang shaum, mungkin sudah habis 2 gelas es doger itu aku minum. Alhamdulillah Alloh masih sayang. ^^
Daripada kepikiran es doger terus akhirnya aku putuskan untuk pergi ke mesjid saja. Sekalian ngabuburit pikirku. Dan tak perlu aku ceritakan bagaimana awalnya aku bisa tertidur pulas di masjid. Sampai samar-samar terdengar suara dari atas menara membangunkanku dari alam mimpi. Adzan.
Ah…sudah berapa jam aku tertidur. Entahlah.
Dengan tingkat kesadaran yang masih 60% aku pun menuruni anak tangga dan bersiap untuk mengambil air wudlu. Tetes demi tetes air itu pun membasahi wajahku dan perlahan memulihkan kesadaranku yang sempat dilanda “lulungu”.
Akhirnya, setelah melaksanakan sholat ashar. Kedua Kaki ini pun menuntunku untuk melangkah pulang. Ifthor di Gerlong saja pikirku saat itu. Kuhentikan angkot Kalapa-Ledeng yang berjalan sedikit pelan. Masih kosong rupanya, akupun memilih tempat paling belakang. Rupanya sisa-sisa kantuk tadi siang pun masih terasa. Dan benar saja tidak lebih dari 10 menit matakun pun sudah terpejam. Lagi.
“Sayang aku… bukanlah Bang Toyib…..”
Petikan gitar dan alunan suara dari pengamen tersebut membangunkanku. Dan Astagfirulloh…darah.. betapa kagetnya aku melihat seseorang yang duduk di depanku. Seorang gadis yang berlumuran darah. Mimisan rupanya. Mungkin sudah lama, melihat bajunya yang putih telah dipenui tetesan darah, begitupun dengan tasnya yang berwarna abu-abu telah penuh dengan noda-noda merah.
“Teteh, jangan nunduk”, hanya itu yang bisa kuucapkan.
Dan aku pun hanya bisa terdiam, karena aku bingung apa yang harus kulakukan. Suerrrr deh, ngeri banget lihatnya. Walaupun ini bukan yang pertama kali aku melihat orang mimisan, tapi tetap saja ada perasaan iba. Dan seumur-umur bahkan sampai umurku berkepala dua, belum pernah aku ngerasain yang namanya mimisan.
“Kiri bang”, akhirnya aku pun turun tepat di samping kampus UPI.
Dalam perjalanan menuju kostan, aku masih memikirkan bagaimana nasibnya gadis itu. Dengan keadaan yang sudah keluar banyak darah, bisa-bisa gadis itu pingsan. Apalagi kalau tadi aku lihat tasnya yang bukan terbuat dari kain, begitu jelas menampung darah yang menetes dari hidungnya. Semoga Alloh melindungi gadis itu.
Akhirnya timbulah pertanyaan dalam benakku. Apa sih mimisan itu? Kenapa juga harus mimisan?
***
Ngabuburit di kamis sore 280411
0 comments:
Posting Komentar