Kau begitu tegar dan ikhlas, walau salah seorang yang kau sayangi telah pergi untuk kembali menghadap-Nya. Setidaknya itulah yang kau perlihatkan padaku dan pada sahabat-sahabatmu. Bahkan pada semua orang yang datang pada saat itu untuk sekedar mengucapkan berbela sungkawa atas ‘kepergian’ ayahmu.
***
Tiba-tiba saja kedua mataku menghangat dan perlahan bulir itu jatuh. Seakan membasahi hatiku yang diliputi rasa rindu. Rindu pada seseorang yang jauh di negeri sebrang sana. Yang selalu mengajarkanku tentang keikhlasan, kejujuran dan ketegaran untuk menghadapi kerasnya hidup ini. Dan yang mengajarkan aku untuk selalu bersinar seperti cahaya mentari yang bisa menerangi bumi. Namun saat ini, detik ini aku masih belum mampu menjadi cahaya seperti yang Ia inginkan. Aku hanya bisa menjadi seberkas cahaya lilin yang menerangi sepetak ruangan yang semakin lama cahayanya kian meredup.
Dan saat ini aku merindukan nasihat-nasihatnya lagi. Nasihat yang Ia sampaikan dengan cara yang tidak biasa, begitu tegas dan keras. Tapi aku tahu itulah nasihatnya, itulah didikannya. Karena aku laki-laki, harus tegar dan kokoh bagaikan karang yang tak mudah terhempas ombak di lautan, tangguh seperti gunung-gunung yang terpaku ke dasar bumi. Hanya itulah kata-kata yang Ia ucapkan sebelum benar-benar pergi, sampai akhirnya bis itu memisahkan kami.
Pernah suatu hari aku bertanya,
“Kenapa harus jauh-jauh mencari kerja, bukankah di sini juga banyak pekerjaan”.
Dan Ia pun hanya tersenyum dan berkata, ”keadaan..keadaanlah yang memaksa”.
Aku mengerti itu. Begitu berat perjuangannya. Aku pun semakin mengerti ketika murobbiku berkata salah satu jihad yang diridhoi Alloh ialah kerja kerasnya seorang suami untuk menafkahi keluarganya. Dan aku pun mengerti ketika Ia memutuskan untuk pergi. Hanya satu yang bisa kutangkap dari raut wajahnya yang sudah menua. Keluarga.
*Insomnia di Sudut Kostan yang Berdebu (250411)
0 comments:
Posting Komentar