Kini saatnya konsumen bersikap kritis terhadap rekomendasi terapi pengobatan dari praktisi medis atau dokter, guna terhindar dari dampak pemberian terapi pengobatan yang tidak rasional (polypharmacy). Karena, jika pasiennya pasif, dokter bisa saja memberi resep obat yang berlebihan.
"Karena ada saja dokter-dokter yang berjiwa bisnis. Praktek Polypharmacy tidak saja merugikan pasien secara ekonomi, tetapi juga bisa menimbulkan keparahan penyakit yang berujung pada kematian," kata praktisi dan penulis buku kesehatan, dr Hendrawan Nadesul dalam diskusi tentang penggunaan obat keras dalam masyarakat di Jakarta, belum lama ini.
Hendrawan kembali menegaskan, penggunaan obat secara berlebihan belum tentu bermanfaat bagi kesehatan. Hal itu justru dapat memicu munculnya gangguan kesehatan yang lain. Obat akan menjadi racun berbahaya bila digunakan secara tidak rasional dan tidak tepat.
"Jadi gunakan sesuai anjuran. Berhenti minum obat kalau tidak memberikan kesembuhan atau penyakitnya makin progresif. Minum antibiotik harus sampai habis," ucap Hendrawan.
Ia menuturkan, obat bagai dua sisi mata uang. Satu sisi bisa menyembuhkan. Namun, disisi lain bisa menimbulkan petaka yang berujung kepada kematian.
"Obat bisa berubah menjadi 'racun' jika pemakaiannya tidak tepat. Untuk itulah maka diperlukan nasihat dokter. Bukan saja jenis obat keras yang masuk dalam golongan Daftar G dan daftar O, tetapi juga obat-obat warung dan obat bebas terbatas yang beredar di pasar," ujarnya.
Menurut Hendrawan, seringan-ringannya obat tetap saja memiliki efek samping. Karena itu, perhitungan risk-benefit menjadi dasar pertimbangan pasien untuk bertanya lebih luas pada tenaga medis atas obat-obatan yang diterimanya.
"Pemakaian obat yang salah dan tidak tepat, sering karena komunikasi dokter-pasien dan pasien-apotik yang kurang terjalin. Selain juga kemungkinan akibat keteledoran pihak medis," tuturnya.
Masalah yang bisa muncul terkait dengan penggunaan obat yang tidak tepat itu, Hendrawan menyebutkan, antara lain efek samping obat, intoleransi, hipersensitivitas, adiksi, sampai intoksikasi dan interaksi obat sendiri.
"Contohnya pasien yang mengeluh kepala pusing, mual dan keringat dingin. Dokter memberi berbagai macam obat untuk pusing, obat untuk mual, obat demam atau obat kembung. Ternyata setelah ditelusuri pasien hanya terkena maag, seharusnya hanya diberi obat maag," kata Hendrawan sambi menyakinkan kalau kasus yang dicontohkan itu merupakan sebuah kisah nyata.
Karena itu, lanjut Hendrawan, konsumen obat sebaiknya berusaha mencari informasi objektif tentang obat yang akan mereka gunakan supaya terhindar dari dampak buruk kesalahan penggunaan obat. Sebab, obat yang langsung menghilangkan gejala kesakitan belum tentu menyembuhkan. "Ada obat yang hanya meredam gejala, tapi tidak menumpas dari akar yang merupakan kunci kesembuhan," ujarnya.
Pengobatan Sendiri
Ditambahkan, kerugian pasien dalam berobat juga bisa muncul karena upaya pengobatan sendiri (swamedikasi). Hal itu terjadi umumnya pada pasien yang menderita penyakit cukup lama. Obat-obat yang diresep dokter terus "diulang-ulang" tanpa konsultasi lagi dengan dokternya.
"Asalnya menimbulkan rasa enak di tubuh, obat dalam resep lama dibeli di pasar obat. Obat dikonsumsi tanpa pengawasan medis dan tanpa batas waktu. Padahal, obat tersebut bisa menjadi racun dalam tubuh," ucapnya.
Kondisi itu bisa terjadi, menurut Hendrawan, karena di Indonesia tidak ada tradisi Dokter Keluarga, yang mana seorang dokter keluarga memiliki catatan medis pasiennya. Sehingga perjalanan kesehatan pasien dipantau dari catatan medis tersebut. Dengan demikian, diharapkan tidak terjadi kesalahan dalam pemberian obat-obatan.
"Karena obat itu sangat bersifat individual, tergantung kondisi tubuh masing-masing pasein. Obat yang sama dengan dosis yang sama untuk penyakit yang sama, belum tentu persis sama respon tubuhnya," katanya menegaskan.
Ditambahkan, setiap individu memiliki toleransi obat, hipersensitivitas obat, jenis penyakit dan sifat kepribadian yang berbeda. Sehingga memerlukan pendekatan orang per oleh oleh pihak layanan medis agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
"Jangankan obat ethical yang harus ditebus dengan resep dokter, obat warung pun perlu lebih mendapat perhatian jika diperlakukan seperti halnya beli kacang goreng karena begitu mudah mendapatkannya. Rata-rata orang Indonesia mudah sekali mengonsumsi obat, bahkan untuk indikasi yang tidak perlu sekalipun," ucapnya.
Sementara itu, Kepala Sub Direktorat Pengawasan Penandaan dan Promosi Produk Terapeutik dan Produk Kesehatan Rumah Tangga Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Tuning Nina meminta masyarakat untuk tidak menelan mentah-mentah informasi dari iklan promosi obat. Sebab, obat yang diiklankan belum tentu memberikan informasi objektif mengenai obat tersebut.
BPOM menyebutkan, sekitar 20 persen iklan obat bebas yang ada di berbagai media masih menyimpang dari ketentuan yang berlaku. Sementara untuk iklan obat keras, hanya 1-2 persen yang menyalahi aturan.
Tuning mencontohkan, produk iklan obat tidak boleh memperlihatkan dokter berseragam yang diperankan tokoh masyarakat. Apalagi kalau dalam iklan tersebut si dokter memberi obat ke pasien. "Kalau masyarakat simpatik dengan tokoh itu, ia akan tidak objektif dalam mencermati produk obat yang diiklankan," ucapnya. (Tri Wahyuni)
Sumber :
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=233013
Hendrawan kembali menegaskan, penggunaan obat secara berlebihan belum tentu bermanfaat bagi kesehatan. Hal itu justru dapat memicu munculnya gangguan kesehatan yang lain. Obat akan menjadi racun berbahaya bila digunakan secara tidak rasional dan tidak tepat.
"Jadi gunakan sesuai anjuran. Berhenti minum obat kalau tidak memberikan kesembuhan atau penyakitnya makin progresif. Minum antibiotik harus sampai habis," ucap Hendrawan.
Ia menuturkan, obat bagai dua sisi mata uang. Satu sisi bisa menyembuhkan. Namun, disisi lain bisa menimbulkan petaka yang berujung kepada kematian.
"Obat bisa berubah menjadi 'racun' jika pemakaiannya tidak tepat. Untuk itulah maka diperlukan nasihat dokter. Bukan saja jenis obat keras yang masuk dalam golongan Daftar G dan daftar O, tetapi juga obat-obat warung dan obat bebas terbatas yang beredar di pasar," ujarnya.
Menurut Hendrawan, seringan-ringannya obat tetap saja memiliki efek samping. Karena itu, perhitungan risk-benefit menjadi dasar pertimbangan pasien untuk bertanya lebih luas pada tenaga medis atas obat-obatan yang diterimanya.
"Pemakaian obat yang salah dan tidak tepat, sering karena komunikasi dokter-pasien dan pasien-apotik yang kurang terjalin. Selain juga kemungkinan akibat keteledoran pihak medis," tuturnya.
Masalah yang bisa muncul terkait dengan penggunaan obat yang tidak tepat itu, Hendrawan menyebutkan, antara lain efek samping obat, intoleransi, hipersensitivitas, adiksi, sampai intoksikasi dan interaksi obat sendiri.
"Contohnya pasien yang mengeluh kepala pusing, mual dan keringat dingin. Dokter memberi berbagai macam obat untuk pusing, obat untuk mual, obat demam atau obat kembung. Ternyata setelah ditelusuri pasien hanya terkena maag, seharusnya hanya diberi obat maag," kata Hendrawan sambi menyakinkan kalau kasus yang dicontohkan itu merupakan sebuah kisah nyata.
Karena itu, lanjut Hendrawan, konsumen obat sebaiknya berusaha mencari informasi objektif tentang obat yang akan mereka gunakan supaya terhindar dari dampak buruk kesalahan penggunaan obat. Sebab, obat yang langsung menghilangkan gejala kesakitan belum tentu menyembuhkan. "Ada obat yang hanya meredam gejala, tapi tidak menumpas dari akar yang merupakan kunci kesembuhan," ujarnya.
Pengobatan Sendiri
Ditambahkan, kerugian pasien dalam berobat juga bisa muncul karena upaya pengobatan sendiri (swamedikasi). Hal itu terjadi umumnya pada pasien yang menderita penyakit cukup lama. Obat-obat yang diresep dokter terus "diulang-ulang" tanpa konsultasi lagi dengan dokternya.
"Asalnya menimbulkan rasa enak di tubuh, obat dalam resep lama dibeli di pasar obat. Obat dikonsumsi tanpa pengawasan medis dan tanpa batas waktu. Padahal, obat tersebut bisa menjadi racun dalam tubuh," ucapnya.
Kondisi itu bisa terjadi, menurut Hendrawan, karena di Indonesia tidak ada tradisi Dokter Keluarga, yang mana seorang dokter keluarga memiliki catatan medis pasiennya. Sehingga perjalanan kesehatan pasien dipantau dari catatan medis tersebut. Dengan demikian, diharapkan tidak terjadi kesalahan dalam pemberian obat-obatan.
"Karena obat itu sangat bersifat individual, tergantung kondisi tubuh masing-masing pasein. Obat yang sama dengan dosis yang sama untuk penyakit yang sama, belum tentu persis sama respon tubuhnya," katanya menegaskan.
Ditambahkan, setiap individu memiliki toleransi obat, hipersensitivitas obat, jenis penyakit dan sifat kepribadian yang berbeda. Sehingga memerlukan pendekatan orang per oleh oleh pihak layanan medis agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
"Jangankan obat ethical yang harus ditebus dengan resep dokter, obat warung pun perlu lebih mendapat perhatian jika diperlakukan seperti halnya beli kacang goreng karena begitu mudah mendapatkannya. Rata-rata orang Indonesia mudah sekali mengonsumsi obat, bahkan untuk indikasi yang tidak perlu sekalipun," ucapnya.
Sementara itu, Kepala Sub Direktorat Pengawasan Penandaan dan Promosi Produk Terapeutik dan Produk Kesehatan Rumah Tangga Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Tuning Nina meminta masyarakat untuk tidak menelan mentah-mentah informasi dari iklan promosi obat. Sebab, obat yang diiklankan belum tentu memberikan informasi objektif mengenai obat tersebut.
BPOM menyebutkan, sekitar 20 persen iklan obat bebas yang ada di berbagai media masih menyimpang dari ketentuan yang berlaku. Sementara untuk iklan obat keras, hanya 1-2 persen yang menyalahi aturan.
Tuning mencontohkan, produk iklan obat tidak boleh memperlihatkan dokter berseragam yang diperankan tokoh masyarakat. Apalagi kalau dalam iklan tersebut si dokter memberi obat ke pasien. "Kalau masyarakat simpatik dengan tokoh itu, ia akan tidak objektif dalam mencermati produk obat yang diiklankan," ucapnya. (Tri Wahyuni)
Sumber :
0 comments:
Posting Komentar