“Aku tak mau jadi PNS, aku juga tak mau bila nanti suamiku PNS. Biar aku bisa merasakan bagaimana mereka masih bersyukur, bagaimana mereka masih tetap yakin kalau rizki mereka ada, walaupun hanya untuk sekedar makan sekali saja. Aku tak ingin bermanja dengan mengandalkan gaji PNS yang setiap bulannya pasti ada.” Ucapnya memecah kesunyian dalam perjalanan bis malam tujuan Cirebon yang berjalan merayap menembus kemacetan.
Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya. Tatapannya yang terus memandang jendela mobil, mungkin ‘mereka’ yang ia maksud adalah para pedagang asongan dan pengamen cilik yang dari tadi terus mondar-mandir mencoba mencari rizki di tengah kemacetan.
Gadis berkerudung merah marun ini masih terus bercerita tentang perasaannya yang sedikit tertekan. Tentang keinginan orang tuanya yang berharap ia menjadi seorang PNS. Padahal gadis ini sama sekali tidak tertarik untuk menjadi PNS.
“Aa juga kan?” tiba-tiba ia mengagetkanku dengan sebuah pertanyaan.
“Hmm… Sudah kuduga. Aa kan orang baik, orang yang taat dan patuh sama orang tua.” Lanjutnya tanpa mempedulikan apa tanggapanku.
Lagi-lagi aku hanya tersenyum. Dalam hati aku berkata, tentu saja tidak. Kalau ingat 5 tahun yang lalu. Jangankan jadi PNS, untuk kuliahpun tak sempat terpikir saat itu. Dengan keadaan orang tua yang tidak memungkinkan membiayai kuliahku. Aku hanya berpikir mungkin menyusul kakak saja menjadi buruh pabrik di Jakarta. Sampai sebulan kemudian keadaan berkata lain.
Dengan membawa koran yang kupinjam dari seorang sahabat, kuhampiri ayah yang baru pulang kerja. Dengan sedikit basa-basi kuutarakan apa yang menjadi keinginanku saat itu. Bismillah…
“Sebulan yang lalu saya ikut tes masuk perguruan tinggi dan Alhamdulillah saya diterima di salah satu PTN di Bandung, ini hasilnya” kuletakan Koran tersebut tepat disamping kopi ayah yang masih mengepul.
Sesaat ayah mengambil Koran, kulanjutkan pembicaraanku,
“Seandainya ayah punya rizki, ingin sekali rasanya saya melanjutkan kuliah. Tapi itu kalau ada, seandainya tidak ada izinkan saya menyusul kakak ke Jakarta untuk mencari pekerjaan.”
Mungkin ayahku kaget mendengar aku bebicara seperti itu. Ya pasti kaget, karena ayah tidak pernah tahu, kalau aku diam-diam menyisakan uang jajanku untuk bisa mengikuti tes masuk PTN.
Tiba-tiba ayah berkata,
“Kamu harus kuliah, buat ayah bangga. Ayah akan bekerja lebih keras lagi, karena ayah tak ingin apa yang ayah alami terulang dalam kehidupanmu.”
04.25 WIG
Syaban, 13 1432 H
*Dari atas menara langit sayup-sayup terdengar suara imam besar masjid nurul Fallah melantunkan ayat-ayatNya.
Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya. Tatapannya yang terus memandang jendela mobil, mungkin ‘mereka’ yang ia maksud adalah para pedagang asongan dan pengamen cilik yang dari tadi terus mondar-mandir mencoba mencari rizki di tengah kemacetan.
Gadis berkerudung merah marun ini masih terus bercerita tentang perasaannya yang sedikit tertekan. Tentang keinginan orang tuanya yang berharap ia menjadi seorang PNS. Padahal gadis ini sama sekali tidak tertarik untuk menjadi PNS.
“Aa juga kan?” tiba-tiba ia mengagetkanku dengan sebuah pertanyaan.
“Hmm… Sudah kuduga. Aa kan orang baik, orang yang taat dan patuh sama orang tua.” Lanjutnya tanpa mempedulikan apa tanggapanku.
Lagi-lagi aku hanya tersenyum. Dalam hati aku berkata, tentu saja tidak. Kalau ingat 5 tahun yang lalu. Jangankan jadi PNS, untuk kuliahpun tak sempat terpikir saat itu. Dengan keadaan orang tua yang tidak memungkinkan membiayai kuliahku. Aku hanya berpikir mungkin menyusul kakak saja menjadi buruh pabrik di Jakarta. Sampai sebulan kemudian keadaan berkata lain.
Dengan membawa koran yang kupinjam dari seorang sahabat, kuhampiri ayah yang baru pulang kerja. Dengan sedikit basa-basi kuutarakan apa yang menjadi keinginanku saat itu. Bismillah…
“Sebulan yang lalu saya ikut tes masuk perguruan tinggi dan Alhamdulillah saya diterima di salah satu PTN di Bandung, ini hasilnya” kuletakan Koran tersebut tepat disamping kopi ayah yang masih mengepul.
Sesaat ayah mengambil Koran, kulanjutkan pembicaraanku,
“Seandainya ayah punya rizki, ingin sekali rasanya saya melanjutkan kuliah. Tapi itu kalau ada, seandainya tidak ada izinkan saya menyusul kakak ke Jakarta untuk mencari pekerjaan.”
Mungkin ayahku kaget mendengar aku bebicara seperti itu. Ya pasti kaget, karena ayah tidak pernah tahu, kalau aku diam-diam menyisakan uang jajanku untuk bisa mengikuti tes masuk PTN.
Tiba-tiba ayah berkata,
“Kamu harus kuliah, buat ayah bangga. Ayah akan bekerja lebih keras lagi, karena ayah tak ingin apa yang ayah alami terulang dalam kehidupanmu.”
04.25 WIG
Syaban, 13 1432 H
*Dari atas menara langit sayup-sayup terdengar suara imam besar masjid nurul Fallah melantunkan ayat-ayatNya.
0 comments:
Posting Komentar